Berbicara Asyik di Depan Publik (Terinspirasi dari Buku TALK-inc points; karya Alexander Sriewijono, Erwin Parengkuan dan Becky Tumewu)

Dulu sekali di suatu hari, saat saya masih SD, saya menangis sesampai rumah tatkala pulang sekolah. Hari itu saya ditunjuk untuk menjadi wakil sekolah dalam lomba deklamasi. Sekarang mungkin disebut sebagai Lomba Baca Puisi. Untuk ukuran kelas 2 SD seperti saya, saya minder sekali. Takut. Karena saya harus bicara di depan banyak orang. Ada juri, ada juga peserta yang lain.

Selama itu pula, saya dilatih oleh seorang guru, untuk bicara dengan suara yang teratur, menghafal pula. Deklamasi adalah baca puisi tapi berupa hafalan. Kita tidak membaca selembar kertas. Kelak, saya rasakan sekali manfaat dari “tangisan” saya saat itu.

Selain deklamasi, saya pernah juga mengikuti lomba cerdas cermat, saat itu P4, baik saat di SD maupun setelah beranjak sekolah di SMP. Pelan namun pasti, sifat minder saya secara perlahan memudar.

Saat SMP saya malah agak “ketagihan”, jika ada acara Mimbar Siswa, di setiap upacara bendera di hari Senin. Saya senang sekali jika mendapatkan kesempatan untuk bicara. Ini adalah ajang para siswa menyampaikan “presentasi” di depan seluruh peserta upacara dan jajaran guru. Saya menyalin banyak pesan dari beberapa koran. Saya tulis kecil-kecil, saya lipat, saat berdiri di depan peserta upacara, dengan suara lantang saya bacakan apa yang saya dapatkan.

Saya baru tahu setelah beranjak dewasa di bangku kuliah, bahwa sejatinya apa yang saya lakukan ketika dulu silam saya masih kecil, adalah bagian dari apa yang sekarang disebut sebagai public speaking—berbicara di depan publik.

Sejujurnya, walaupun telah banyak momen berbicara di depan publik yang saya lakukan, kondisi saya masih belum stabil. Kadang begitu percaya diri, tapi tak jarang masiiih saja kurang pede. Saya baru tahu pula setelah dewasa, bahwa seni berbicara di depan publik ternyata ada ilmu dan pakemnya. Ada hal-hal umum, yang harus dipelajari dan menjadi acuan banyak orang di berbagai penjuru dunia.

Kini begitu banyak buku-buku yang membahas tentang bagaimana dan sikap apa yang harus kita tunjukkan tatkala kita berbicara di depan publik. Lengkap dengan cara dan metode latihannya. Dari beberapa hal yang diresepkan dalam beberapa buku itu [misalnya baca Bagian 2 buku TALK-inc], saya amat tertarik dengan artikulasi dan intonasi. Dua kata yang, barangkali kita kurang peduli untuk menatanya.

Tips-tips lain seperti cara ice breaking, yang pernah saya lakukan diantaranya adalah dengan “nggosip” isu mutakhir di koran atau majalah sebagai pemecah suasana. Kalau mengutip sebuah buku atau artikel, sangat jarang saya lakukan, terkecuali audiens dan acaranya bersifat formal. Dalam beberapa kesempatan sesi pelatihan yang saya bawakan, anekdot menjadi andalan saya.

Kini kita kembali ke intonasi dan artikulasi. Saya dulu sekali, saat masih sekolah, sangat suka mendengarkan siaran radio BBC. Gaya bicara penyiarnya enak dan empuk sekali untuk didengarkan. Saat ini pun, saya masih terus melatih dan menata bagaimana agar intonasi itu serasa pas dan enak didengar. Tanpa pernah merasa malu dan merasa kurang kerjaan, di rumah saya sering omong sendiri. Membaca artikel, yang ditulis dalam kalimat tidak langsung, atau mencoba menelisik lalu menghafalkan, berbagai cerita lucu atau anekdot, lengkap dengan tema dan subtemanya.

Namun demikian, sejatinya resep Mas Alex dalam buku TALK-inc, merupakan suplemen untuk selalu meningkatkan rasa percaya diri saya. Pertanyataan tentang apakah kita harus terlahir menjadi orang bijak agar dapat berkomunikasi dengan baik ? Ternyata tidak. Semua itu bisa dipelajari dan dilatih. Langkah pertama adalah petakan kekuatan dan kekhasan diri kita.

Menurut Mas Alex, ada tiga belas kompetensi yang perlu dimiliki dan diperkuat, yaitu 13C mulai dari Confidence dan sebelas C lainnya sampai Conclusion atau kemampuan untuk menutup pembicaraan secara efisien, efektif dan impresif.

Kini yang belum terlaksana adalah, saya ingin melatih untuk mengencangkan suara dan intonasi seperti yang ingin saya mau, dengan cara “ala anak teater” di kampus dulu. Ke daerah pegunungan atau laut, lalu saya berbicara dengan tenaga yang cukup. Bagi saya ini perlu untuk melatih stamina. Harapannya, tatkala kita berbicara dalam durasi berapa pun, akan tetap menarik dan asyik.

Bagaimana menurut Anda ?

New Page 1