Hari Ini untuk Esok

Selain suasana guyub-rukun dan kemeriahan acara yang saya temui pada Temu Kangen IWAKK Minggu (09/11) kemarin, acara itu masih menyisakan cerita lagi. Lebih membekas, menyentuh, dan membangunkan kata-hati kita. Khas cerita kebanyakan orang kampung, yang baru mulai menapaki hidup di perantauan.

Cerita bermula ketika saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Pak Marsikin -- kasepuhan dan lurah di milis Karmen ini. Obrolan sampai pada fakta makin banyaknya anak-anak lulusan SMA di Kebumen yang melanjutkan kuliah di UI. Pada angkatan saya dulu, lulus tahun 1993, dari satu sekolah saya hanya satu orang yang berhasil menembus UI, itu pun karena lolos program PMDK. Bukan UMPTN. Tapi, sejak pertengahan tahun 2000-an hingga mendekati akhir 2000-an kini, puluhan orang berhasil lolos ke UI -- bahkan untuk jurusan-jurusan favorit. Yang sangat menyentuh adalah cerita tentang mahasiswa-mahasiswa asal Kebumen, yang menjalani hidupnya dengan lelaku prihatin.

"Saya sering terharu kalau melihat anak-anak dari Kebumen, sedang makan nasi bungkus di mushola. Hampir tiap hari saya temui anak-anak dari Kebumen seperti itu. Mereka bawa bekal dari kos", Pak Marsikin menceritakan kepada saya, sambil matanya terlihat agak berkaca-kaca. Saya yang mendengar dan melihat mimik wajah Pak Marsikin, ikut "kesetrum". Bulu di tangan saya berdiri. Saya merinding.

Imajinasi saya langsung terbawa ke suasana yang amat hedon bagi sebagian mahasiswa UI. Apalagi pada jurusan-jurusan di Fakultas Ekonomi atau Sastra, yang saya dengar dari cerita kawan saya maupun dari berbagai media massa. Makan enak di kantin atau nongkrong di kafe, sudah menjadi kebiasaan bagi mereka ini. Gaya hidup metropolitan yang kebetulan ditunjang oleh mereka yang berasal dari latar belakang kaum berada, jelas berbeda jauh dengan dhagrak-nya wong Kebumen, sing pasti mandan low profile -- jika malah bukan perasaan rendah diri yang berlebihan (inferiority complex).

Saat saya bertanya ke Pak Marsikin, kok tahu mereka asal Kebumen, ia menjelaskan, karena tiap hari bertemu dengan mereka. Hapal dari logat dan gaya bicaranya. Kebetulan, Pak Marsikin sehari-hari bekerja di bagian kependidikan FE UI. "Bahkan tahun ini mencapai sekitar lima puluh orang. Mungkin jika berdasarkan lingkup kabupaten/kota, Kebumen adalah ranking kedua terbanyak setelah Jakarta, dari jumlah orang yang meneruskan kuliah di UI", Pak Marsikin menambahkan.

Saya kagum dan bangga mendengar ceritanya. Untuk masuk UI, universitas paling bergengsi di tanah air, pasti bukan hal yang mudah. Perlu kerja keras dan usaha yang luar biasa.

Kembali ke cerita mahasiswa asal Kebumen yang makan nasi bungkus di mushola itu. Pepatah lama telah mengajarkan kepada kita, "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian". Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Bahkan, dalam istilah yang lebih ekstrem (paling tidak menurut saya), saudara sepupu saya pernah bilang "kowe ngucing gering dhisit To". Ya terimalah dulu kondisi yang ada sekarang. Seadanya. Sepupu saya memberi nasihat ke saya, ketika saya baru pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, sekitar awal 2002 silam.

Dengan segala kondisi yang ada untuk hidup saat ini, walaupun mungkin serba kekurangan, tapi tujuan masa depan tetap harus fokus dan jelas. Lebih dari itu, kita harus mempunyai sebuah mimpi, untuk terus melecut motivasi. Dalam cerita mahasiswa tadi, tujuan jangka pendeknya sudah pasti. Menyelesaikan kuliah dengan nilai baik, meningkatkan soft skills, melebarkan dan meluweskan pergaulan, serta pintar membawa diri. Yang paling menunjang untuk pintar membawa diri, dalam hemat saya adalah, kemampuan berbahasa dan berkomunikasi yang baik. Jelas termasuk dalam hal ini adalah kemampuan berbahasa asing.

Fokus dan Fleksibel

Ada tips singkat, agar mimpi yang telah kita canangkan, bisa kita wujudkan di alam nyata. Tips itu terdiri dari dua kata, yaitu, fokus dan fleksibel. Fokus adalah kemampuan mengingat dan mengkonsentrasikan pikiran pada mimpi kita. Fokus mengandung tiga unsur, yaitu : konsentrasi pikiran, kebulatan hati (tekad), dan manajemen tindakan (aksi). Lalu, apa itu fleksibel ? Kalau kita membuka literatur manajemen SDM, ternyata fleksibilitas itu termasuk kompetensi yang sangat penting. Fleksibilitas itu adalah kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan dan tetap bisa bekerja secara efektif. Fleksibilitas termasuk ciri khas utama orang-orang yang memiliki kinerja bagus.

Dengan fleksibel dan fokus, berarti kita telah dan tetap berdamai dengan realitas. Namun pada saat yang sama, kita tetap melakukan upaya pengejaran (realisasi mimpi). Sebagai contoh, misalnya saja, Suhadi, asal Kebumen, dari sejak usia remaja sudah bercita-cita ingin menjadi pegawai di sebuah bank. Demi cita-cita itu, Suhadi memilih sekolah bisnis, akademi, sekolah tinggi atau universitas pada jurusan yang kelak bisa mengikuti seleksi kerja di bank. Tetapi realitas yang dihadapi lain. Setelah lulus sekolah, ternyata Suhadi berkali-kali gagal lolos seleksi untuk bekerja di bank. Akhirnya pada waktu yang tepat, (katakanlah misalnya paling lama 6 bulan setelah diwisuda) Suhadi memutuskan untuk bekerja di bidang yang lain. Masih sebagai pegawai -- misalnya di perusahaan consumer goods, telekomunikasi, atau keuangan. Dalam hal ini, Suhadi telah menjalankan prinsip fleksibel. Tidak ngotot. Luwes, sambil terus mencari peluang yang lain. Atau, fokus ke mimpi semula, ingin bekerja di bank.

Ingat ajaran orang tua kita ? Ngeli ning aja keli itu ? Ya, kira-kira bisa diartikan, bahwa kita harus bisa beradaptasi atau menyesuaikan diri di tempat baru kita, tapi jangan sampai keterusan atau terlena, sehingga kita keblinger. Menurut saya, pitutur ini bisa diterapkan dalam berbagai dimensi kehidupan. Dalam pergaulan dan juga pada bidang pekerjaan seperti cerita Suhadi di atas.

Meminjam istilah yang ada dalam ajaran Samurai, kita itu dianjurkan untuk menjadi orang yang punya sifat atau watak seperti air. Seperti apa itu ? Di bukunya Donald G. Krause, The Book of Five Rings for Executive, sifat dan watak air itu dijelaskan dengan kalimat "ordered" and "flexibility". Ordered itu teratur -- mengatur pikiran, hati dan tindakan demi tercapainya tujuan. Sedangkan flexibility itu kemampuan beradaptasi dengan keadaan yang berubah.

Pada akhirnya, yakinilah bahwa apa yang kita perbuat, harus senantiasa taat pada asas-asas yang sudah bersifat universal. Mengikuti kaidah alam. Untuk bisa naik ke tempat yang lebih atas misalnya, kita memerlukan tangga. Begitu pun dalam karir dan pekerjaan. Semuanya memerlukan tahapan dan proses. Karena sejatinya, apa yang kita lakukan dan kerjakan kini, adalah untuk kita nikmati esok. Mungkin kita akan petik hasilnya sekitar sepuluh tahun -- atau bahkan lebih -- yang akan datang.

Salam kerja keras pantang menyerah !

New Page 1